Sunday, June 12, 2016

Belajar Bahasa IELTS

Desclaimer:
Bahasan yang satu ini sedikit berat, jadi jangan dipikirin banget. Badan udah berat bro, tambah mikirin IELTS.
// Ini lanjutan dari cerita permulaan yang mencoba menceritakan tentang gimana saya dulunya setelah lulus strata-1. Pada cerita ini, saya ingin membagi pengalaman saya belajar IELTS, yang mana, bagi saya, english test yang satu ini punya bahasa tersendiri selain bahasa inggris (nah loh bingung kan?). Jadi begini ceritanya.
/ Pada zaman dahulu...ada satu sertifikasi kemampuan bahasa inggris yang terkenal dari Amerika Serikat (bahasa inggris yang terkenal dari Amerika? Think Again!), sertifikasi itu bernama TOEFL. Test of English as a Foreign Language (TOEFL) diselenggarakan oleh salah satu badan di Amerika yang bernama ETS (Educational Testing Sevice).Semua sertifikat TOEFL jenis apapun harus ada "cap" dari badan ini. TOEFL sendiri, secara internasional, punya 3 jenis tes, yaitu: (1) TOEFL iBT (internet-Based Test) (2) TOEFL pBT (paper-Based Test) (3) TWE (Test of Writting English). Kalo mau studi lanjut ke luar negeri, bisa pakai TOEFL iBT maupun pBT tapi ngga bisa pakai TOEFL ITP (Institutional Testing Program) alasannya bisa baca disini. Nah, sertifikasi berupa TOEFL lah yang sangat terkenal pada tahun 80-an hingga 2000-an. Karena ngga ingin kalah sama sertifikasi bahasa inggris dari Amerika Serikat itu (sertifikasi bahasa Inggris kok dari Amerika Serikat?), akhirnya bangsa Inggris melalui British Council dan Universitas Cambridge yang membangun kongsi dengan Australia melalui IDP Education Australia, bertekad untuk menyebarluaskan virus sertifikasi bahasa inggris dari Inggris (nah ini masuk logika), mereka menamakannya dengan IELTS (International English Language Testing System -- walaupun sebenarnya tes ini sudah terlahir sejak tahun 1989) yang memiliki sistem tes yang sama sekali berbeda dengan TOEFL. Kalau mau tes IELTS, kita bisa pilih mau tes di bawah lembaga apa. Di Indonesia (setau saya) ada 3 lembaga tes IELTS, yaitu British Council, IDP Education Australia, dan IALF (silakan cari infonya terkait lembaga-lembaga ini). Ketiga lembaga tersebut sebenarnya sama seperti memiliki kantor cabang di berbagai daerah di Indonesia dan kita bisa memilih mau ngambil tes dimana.
/ Lalu gimana pergulatan saya dengan bahasa IELTS? Semuanya berawal pada saat saya duduk di semester 7 bangku perkuliahan di Jogjakarta. Saat itu dikalangan teman-teman se-angkatan saya (yang rajin, kayak saya :p) lagi nge-tren ambil kursus TOEFL ITP, iBT, dan IELTS. Entah mengapa saya memilih IELTS sebagai tes bahasa inggris yang akan saya dalami. Lanjutlah saya mengikuti sebuah kursus IELTS di Jogjakarta.

// Kursus IELTS di CILACS UII
/ Sebenarnya ada banyak lembaga kursus, khususnya di Jogjakarta, kita bisa memilih banyak lembaga, seperti Real English (Katanya ada banyak? Kok ngasih contohnya cuma 1 mas Zulfikar??? -- jujur saya lupa nama lembaga lainnya, yang saya ingat hanya lembaga itu karena m*hal, tapi m*hal itu relatif).
/ CILACS UII berlokasi di Demangan Baru, Jogjakarta, merupakan lembaga di bawah Universitas Islam Indonesia (UII) Jogjakarta yang menyelenggarakan berbagai kursus bahasa inggris. Terkait kursus IELTS, lembaga ini membuka pendaftaran sekali sebulan dengan biaya kelas reguler 1,3 jutaan atau kelas privat 2,1 jutaan (informasi lebih lanjut bisa buka di website CILACS UII). Tentu saja saya memilih yang kelas reguler. Setelah mendaftar (Mendaftarlah paling tidak 1 bulan sebelum kelas dimulai, karena kuota kelas penuh terus, maksimal kuota sekitar 10 orang), saya mengikuti kelas dengan jadwal 2 kali seminggu (bebas pilih hari), suasana ruang kelasnya yang kondusif dengan berbagai fasilitas serta teman kursus dari kampus lain (apalagi yang cantik itu,haseekk). Saat itu kelas saya kebagian 3 pengajar, Miss X (saya lupa namanya, tapi ini gurunya perempuan) sangat baik, ngajarnya bagus, diselingi dengan cerita-cerita pengalaman pribadinya; Mr. Y (saya juga lupa namanya, ini gurunya laki-laki) stylist sekali guru yang satu ini; dan Mr. Norman (yang satu ini saya ingat karena sangat dikenal dikalangan murid CILACS UII) oranganya asik dan bagus juga ngajarnya, tapi biasanya ngajar kelas privat. Di awal, sebelum mendaftar, saya diberi kesempatan untuk simulasi IELTS gratis dan total skor saya 5,5.Setelah belajar listening, reading, dan speaking dengan Miss X dan Mr. Norman serta writing dengan Mr. Y, di akhir kursus skor saya tetap 5,5. Entah apa yang kurang saat itu, mungkin tingkat kualat saya dengan emak saya saat SMA masih tinggi.

// Kursus IELTS di General English (GE) Pare
/ Setelah lulus dan kerjaan di konsultan mencapai akhir, pada akhir Desember 2015, saya memutuskan untuk bertolak ke sebuah kampung Inggris yang berada di Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri. Saya pikir akan banyak wanita Blonde dan Brunette disana, ternyata dugaan saya Benar! Benar-benar Salah maksudnya. Mimpi saya untuk ketemu dengan wanita Blonde dan Brunette pun sirna karena sesampainya disana, yang saya temui adalah orang-orang dengan wajah yang sangat familiar, saudara-saudara se-tanah air saya sendiri juga ternyata, yang mana wanitanya ngga ada yang rambutnya Blonde ato Brunette, adanya yang pakai Konde dan Pentul. Yasudahlah tidak apa-apa, saya meluruskan niat saya lagi untuk belajar IELTS.
/ Pare merupakan sebuah Kecamatan yang terletak dibagian tenggara (CMIIW) Kabupaten Kediri dan berbatasan langsung dengan Kabupaten Malang. Kecamatan ini memiliki ibukota kecamatan bernama Pare, kota Pare ini memiliki bangunan-bangunan tua ala Belanda yang kemudian membuat saya penasarana tentang asal-usul kota ini. Kota Pare dulunya merupakan sebuah hutan belantara yang dibuka lahannya oleh Belanda untuk kepentingan industri perkebunan, makanya banyak fasilitas umum yang masih bernuansa kompeni di kota Pare. Sedangkan Kampung Inggris sendiri tidak ada hubungannya dengan asal-usul Pare. Kampung Inggris sebenarnya terlahir dari sebuah cikal bakal lembaga kursus bahasa Inggris yang didirikan oleh seorang santri, lembaga tersebut bernama BE (Basic English). Permulaan itulah yang kemudian memunculkan lembaga-lembaga kursus bahasa inggris lainnya.
/ Di Pare, saya bertemu dengan Hafi (-- ingat nama ini?), dialah yang mendaftarkan saya di GE dan banyak membantu saya untuk mengetahui seluk beluk Kampung Inggris dan Kota Pare. Pada saat  tiba, saya langsung cari kos-kosan (ada banyak sekali rumah-rumah yang menyewakan kamar kos disana, jadi santai aja ngga bakal tidur di musholla atau di trotoar kok. Ada juga beberapa lembaga yang menyediakan mess untuk para muridnya dengan harga yang jauh lebih murah dibanding kos-kosan, namun kita harus sharing kamar, 1 kamr untuk bertiga hingga berempat). Akhirnya saya mendapatkan kos-kosan dengan harga Rp 175.000,00/2 minggu (karena kursus saya hanya 2 minggu, kalo butuhnya 1 bulan ya tinggal dikaliin 2 pak :p). Hari pertama masuk kursus, saya berkenalan dengan banyak pejuang IELTS yang sev-visi dari berbagai belahan wilayah di Indonesia, sayangnya ngga ada yang Blonde ato Brunette, saya pikir paling ntar gurunya yang bule (sambil membayangkan guru wanita Blonde ato Brunette seperti di film-film Hollywood itu). Ternyata memang Tuhan menyuruh saya untuk fokus belajar IELTS di Pare, guru kelas IELTS kami adalah seorang lelaki kira-kira 5 tahun lebih tua dari saya (generasi akhir 80-an, awal 90-an, masa kecilnya pasti bahagia nih) namanya Mr. Yogananda yang juga juragan mebel di dekat Pare dan sudah real test IELTS 4 kali dengan hasil yang membanggakan, skor tertingginya 8 brohh (namun sayang, dia belum bisa melanjutkan s2 di luar negeri di saat teman-temannya sudah memajang foto profil di FB dengan background Eiffel Tower, Kincir angin, jam big ben, Sydney opera house, dan Tugu Jogja (hlohh??). Didukung dengan ruang kelas ala kelas internasional, guru yang humble, baik, berdedikasi, dan rendah hati, serta teman-teman kursus yang asik-asik (sampai bikin grup WA dan ngga pernah ada yang left sampai sekarang -- maksimal kuota 20 orang/kelas), saya melalui simulasi IELTS (seperti real test) setiap hari dan setiap hari itu masih dibagi lagi dengan setiap 3 jam (jadi total kami kursus IELTS. dengan metode simulasi diselingi diskusi, selama 6 jam/hari atau 60 jam/2 minggu -- sabtu liburr -- saya merekomendasikan bawa koyo salonpas ato balsem untuk mengobati keju-kemeng-pegel di area sekitar Mr. L, P, dan K -- Leher, Pungung, Kepala), dengan soal-soal yang berbeda tiap harinya. Namun Mr. Yoga juga akan menginterview dan mereview hasil tulisan kita by personal (alias satu-satu). Sistem simulasinya adalah begini: Listening bareng-bareng sekelas (60 menit), lanjut Reading (60 menit) -- saat reading inilah ada 1-2 orang yang tes Speaking bersama Mr. Yoga, setelah Reading lanjut Writing (30 menit) -- saat Writting juga ada yang dicomot untuk tes Speaking by personal diruang tersendiri. Keesokan harinya, tiap pagi atau siang, kita menilai hasil pekerjaan Listening dan Reading teman kita (kayak jaman SD gitu) terus skornya dikasih tau ke Mr. Yoga untuk dipantau terus perkembangannya. Alhamdulillah, setelah mengikuti kursus di GE Pare, skor-skor sub-test saya naik, dan bisa diprediksi paling tidak skor 6,5 bisa saya kantongi. Hal ini memberikan pelajaran bagi saya, bahwa yang terpenting dari belajar IELTS adalah FOKUS. Saat kursus di Jogjakarta dulu, selain kursus, saya juga sibuk mengurusi kuliah dan persiapan skripsi serta proyek-proyek lainnya, sehingga saya tidak Fokus dalam belajar IELTS dan pada akhirnya tidak ada perkembangan di skor IELTS saya. Jadi, kunci belajar bahasa IELTS adalah FOKUS lah, dan lihat apa yang terjadi (Super sekali!).

// Belajar IELTS Sendiri di Kontrakan
/ Setelah pulang dari Kampung Inggris Pare (saat itu awal Januari 2016), saya langsung ke IDP Education Australia di Jogjakarta (letaknya di Universitas Kristen Duta Wacana -- UKDW) dan memilih untuk Real Test IELTS tanggal 30 Januari dan mendaftarlah saya melalui CS nya (yang mengingatkan saya dengan pemeran Aisyah di film ayat-ayat cinta). Setelah bayar melalui ATM yang ditujukan ke rekening Commonwealth milik IDP Education Australia, saya mengirimkan struk pembayaran dan KTP saya ke mbaknya CS melalui email (bukan WA, karena mbaknya ngga mau dimintain nomor HP nya, sayang sekali). Kemudian petugas IDP lah yang akan mendaftarkan kita secara online kepada IDP Pusat sebagai peserta tes IELTS resmi. Sehingga masih ada sekitar 2,5 minggu bagi saya untuk belajar sendiri di kontrakan (mengapa saya harus mencantumkan dimana saya belajar sendiri? Karena ini akan mempengaruhi tingkat kondusivitas dari proses belajar IELTS kita). Selama sekitar 2,4 minggu saya habiskan dengan berlatih Listening, reading, dan writting berdasarkan buku IELTS Cambridge 1-10 yang saya minta softfile nya dari Mr.Yoga. Saya jadwal proses belajar saya tiap hari, paling tidak dapat 2 paket soal, dan saya memilih jam-jam pagi (setelah subuh hingga jam 10an), bukan apa-apa, karena pada jam segitu, penghuni kontrakan lain pada belum bangun, jadi sangat kondusif untuk belajar IELTS, apalagi Listening. Saat penghuni kontrakan pada bangun, selesei sudah latihan saya, dan tidak ada yang mengganggu saya kecuali suara jangkrik, pemilik kontrakan, dan orang yang sedang nyapu di depan kontrakan. 1 Hari sebelum tes saya bebaskan diri saya tanpa mengingat lagi tentang apa itu IELTS (saya anggap sudah khatam).

// Saatnya Real Test IELTS (29-30 Januari 2016)
/ Jadwal tes IELTS yang dikeluarkan oleh IDP Jogjakarta membedakan tes speaking sendiri. Pada Jumat, 29 Januari 2016 pukul 14.00, saya melakukan tes Speaking IELTS di Pusat Pelatihan Bahasan (PPB) UGM lantai 2. Barulah saat itu saya akhirnya bertemu dengan wanita Blonde asli, sayangnya sudah agak berumur, jadi saya ngga mintain nomor HP nya. Selama kurang lebih 20 menit saya diintrospeksi dan menjawab asal (yang penting dalam Speaking IELTS adalah cas-cis-cus ngomong English tanpa jeda a-e-a-e; Jawaban On Topic; Grammar; Pronunciation yang jelas, ...). Hari selanjutnya, Sabtu, 30 Januari 2016, mulai jam 8.00 hingga 11.00 saya melakukan tes Listening, Reading, dan Writing (Emang urut begini tes nya) tanpa jeda istirahat. Jadi daya tahan fisik, jiwa, dan otak perlu dilatih betul sebelum ambil Real Test IELTS. Keseluruhan soal saya anggap gampang, tidak seperti yang saya dapat saat di CILACS UII maupun GE Pare. Namun saya akui saya kurang pede dengan writing saya. Walhasil benar, walaupun saya mendapat overall skor 6,5, sub-test writing saya kurang dari 6, padahal sub-test lainnya di atas 6. Bagi yang merasa kurang di writing, saya sarankan fokus belajar writing selama beberapa waktu dulu. Karena selama 2,4 minggu saya fokus belajar listening dan reading, sehingga skor wrtingnya jadi jemblok dan skor lainnya jadi naik dan meng-katrol overall skor saya.
Setelah menerima sertifikat IELTS (sekitar 2 minggu kemudian) dengan mengambilnya di IDP Jogjakarta, saya bisa lega sebentar dan mulai apply-apply universitas di luar negeri. Oiya, di akhir tahun 2015, saya sudah apply 2 universitas di Belanda dan menadapat LoA Conditional, yang mana salah satu universitas itu menjadi tujuan kuliah s2 saya saat ini. Hal ini akan saya ceritakan pada cerita selanjutnya...Mendaftar Universitas, Bagai Beli Baju Obral

0 comments:

Post a Comment