Saturday, October 14, 2017

Perbincangan

Sebelum terlanjur, saya sarankan untuk tidak membaca tulisan ini. Tapi kalau benar-benar ingin membacanya, silakan menerka apa makna dibalik cerita yang ada dalam tulisan ini.

Di dalam sebuah bus menuju stasiun ada dua ibu-ibu paruh baya yang sedang asyik berbincang. Entah apa yang mereka obrolkan karena hanya terdengar suara-suara obrolan dari sana tanpa ada makna yang bisa tertangkap. Saya hanya bisa melihat betapa antusiasnya mereka berbincang hingga tak terasa 3 halte sudah terlewati. Terkadang salah satu dari mereka menoleh ke arah layar petunjuk pemberhentian selanjutnya dengan mengucapkan "sorry" kepada lawan bicaranya sebelum menoleh. Mereka selalu mendengarkan lawan bicaranya dengan seksama tanpa berinterupsi saat lawan bicaranya tengah bicara. Walaupun kadang tangan dari ibu yang menggunakan topi merah itu mencoba untuk mengusir seekor lalat kecil yang dari tadi sibuk mengitari kursinya yang berada di dekat jendela. Mungkin saja lalat kecil itu ingin mendengarkan juga obrolan asyik yang sedang digumamkan oleh kedua ibu-ibu tersebut. Terkadang juga ibu yang membawa tas biru yang berada disebelahnya, tersenyum lebar hingga terlihat gigi taringnya yang kekuningan. Sesekali seorang perempuan remaja yang berada di seberangnya menoleh ke kedua ibu-ibu itu dan tersenyum kecil sambil mengibaskan rambut cokelatnya. Saya meyakini obrolan keduanya menyangkut tentang sesuatu yang berkaitan dengan perempuan. Entah perawatan wajah, rambut, atau kuku. Mungkin juga mereka sedang membicarakan tentang asesoris yang sedang menjadi tren. Tanpa menghiraukan hal-hal buruk yang sedang terjadi di luar sana. Tentang perempuan yang lusuh wajahnya, rambutnya, bahkan kukunya. Tentang perempaun yang menjadikan luka di kulit menjadi asesorisnya. Meskipun begitu, kedua ibu itu tetap melanjutkan perbincangannya.

Tidak terasa, bus berhenti di halte ke-7, saat dimana akhirnya lalat kecil yang dari tadi berputar-putar di bus keluar melalui pintu yang terbuka secara otomatis itu. Mungkin saja ia agak lelah untuk terbang dari rumahnya menuju entah tempat mana di sekitaran halte itu. Sehingga ia memutuskan untuk lebih baik naik bus daripada terbang dan akhirnya mati di tengah jalan. Walaupun dari tadi ia agak tidak nyaman karena tangan seorang ibu-ibu yang sedang asyik berbincang mencoba untuk menolak kehadirannya. Ketika pintu bus tertutup, salah seorang di antara penumpang bus mengeluarkan telepon genggamnya dan mulai tersenyum-senyum sendiri. Walaupun kadang ia mencoba untuk menahannya karena mungkin agar tidak dikira gila. Tapi beberapa orang lain di antara penumpang bus juga melakukan hal yang sama. Hanya seorang perempuan seusia saya yang masuk di halte ke-5 dan duduk di dekat jendela yang memilih untuk melihat pemandangan di luar bus sambil sesekali memperlihatkan senyum kecilnya, kecil sekali hingga kadang saya tidak tau apakah itu senyuman atau memang bawaan dari mimik wajah. Mungkin saja ia sedang melamunkan pertemuan dengan kekasihnya yang sudah menunggunya di kota lain yang dilewati oleh kereta yang berasal dari pemberhentian akhir bus ini. Bisa juga ia sedang memanggil kembali memori-memori indahnya saat sedang bermain bersama ayahnya ketika cuaca sedang cerah-cerahnya, seperti hari ini.

Hingga semua orang menghentikan semua kegiatannya, ketika ada suara robot dari dalam bus yang memberitahu bahwa bus sudah mendekati halte stasiun, tujuan bus itu. Tak terkecuali kedua ibu yang asyik berbincang tadi. Ketika itu juga beberapa penumpang memasukkan telepon genggam mereka ke dalam saku ataupun tas untuk bersiap turun dari bus. Perempuan yang sedari tadi berada di seberang kedua ibu-ibu itu juga terlihat akan turun di halte berikutnya. Sambil menghempaskan rambut cokelatnya keluar dari jaket abu-abunya, ia melirik keluar, lalu menutup jaketnya dan berdiri mendekati pintu. Saat itu juga ada 2 anak kecil sedang bersepeda di dekat jalan yang sedang dilalui oleh bus ini. Mungkin saja mereka adalah kakak adik yang disuruh ibunya untuk beli daging di toko dekat stasiun. Salah satu dari mereka mengenakan rompi biru dan berada di belakang yang menggunakan rompi pink. Tak beberapa lama, muncul suara dari lantai bus yang berwarna biru bercorak biru muda dan cokelat itu. Tapak demi tapak dilalui oleh setiap penumpang untuk keluar dari bus. Semuanya berjalan menuju stasiun kecil itu. Semuanya ingin naik kereta menuju kemana saja. Lalu bagaiman dengan saya? Jangan terlalu memedulikan saya. Sudah begitu saja, kata mereka.

Sunday, February 19, 2017

Sewaktu di Lisbon, Portugal

/ 15 Februari 2017. Setelah bus berhenti pukul 05.00 pagi di sebuah terminal yang entah dimana dan apa namanya, para penumpang yang kebanyakan orang Asia, termasuk para pelancong ini, membuka matanya yang masih berat dan setengah berada di alam bawah sadar. Di waktu yang bersamaan, sopir bus mengatakan sesuatu yang sangat asing di kuping mereka, Ia berkata, "Liboo Poboboo". Setidaknya begitu yang didengar oleh seorang pelancong dari Asia tersebut, yaitu saya sendiri. Karena tidak menangkap apa yang disampaikan si sopir, dan bingung karena tidak ada satupun penumpang yang beranjak turun dari bus, saya pun bertanya pada seorang teman pelancong yang duduk di sebelah kanan kursi saya. Saya bertanya kepada pelancong yang saya tahu Ia masih mencoba untuk menarik dirinya dari alam bawah sadar, "Haf, dia (sopir bus) ngomong apa haf?". Seperti dugaan saya, Ia pun menjawab, "Mana awak tahu, coba tanya ke sopirnya". Saya pun langsung beranjak dari kursi saya dan menghampiri si sopir bus yang sedang berada di depan bus dan terlihat kebingungan sambil melihat penumpang dari kaca depan bus. Seketika saya langsung bertanya kepadanya, "Is it Lisbon, Portugal?". Lalu Ia pun menjawab dengan nada sedikit meninggi dan menekan, "Yei, this is Losboo Poboboo!". Setelah menjawab pertanyaan saya tersebut, seketika itu juga si sopir masuk ke dalam bus dan mengumumkan kembali bahwa bus sudah sampai di Lisbon, Portugal. Sayangnya, saya yang berada di belakangnya yang sudah tau bus ini sudah sampai di Lisbon, Portugal pun bingung dengan apa yang diumumkan oleh si sopir bus untuk yang kedua kalinya, Ia berkata "Lisboo Porbobol!!". Seketika itu juga para penumpang bus turun karena merasa sopir bus marah. Saya pun masih berada di dekat ruang kemudi bus saat para penumpang berhamburan turun, yang ternyata kebanyak yang turun adalah penumpang Asia berwajah Tiongkok. Saya pun berpikir dalam hati bahwa mereka juga mengalami kebingungan yang sama dengan saya pada sewaktu awal-awal si sopir mengumumkan bahwa bus sudah sampai di Lisbon, Portugal. Di antara penumpang yang turun tersebut ada teman pelancong yang duduk di sebelah saya tadi, saya pun meminta tolong kepadanya untuk mengambilkan jaket dan botol minum yang terdapat di kursi saya, Ia mengangguk dan dengan sangat lirih mengatakan, "Udah". Ketika Ia menapaki turunan tangga bus, saya pun melihat tangannya, dan tidak ada jaket maupun botol minum yang mirip dengan kepunyaan saya. Akhirnya saya mengambl sendiri jaket dan botol minum saya yang masih eksis di kursi saya dan segera turun dari bus lalu menghampiri teman saya tadi sambil mengambil tas carrier kami di bagasi bus. "Haf, kamu tadi aku minta tolong bawain jaket dan botol minum saya, kok malah ditinggal?". Ia pun menjawab dengan sangat innocent, "Ohhh, aku kirain jaketku, kalo jaketku udah aku bawa, ni aku pakek". Seketika itu juga saya bilang, "Kamvreett". Itulah momen awal ketika kami tiba di ibukota negara Portugal, Lisbon. Pelajaran yang bisa diambil dari momen tersebut adalah, bicaralah dengan aksen yang jelas ketika menyampaikan sesuatu kepada orang yang baru saja bangun. Dan jangan pernah mengandalkan orang yang baru saja bangun tidur untuk melakukan sesuatu.

/ Roman wajah para pelancong ini sudah tidak seperti awal di saat air hangat dari pancuran shower  membasahi tubuh kami. Berbekal 50 sen, satu per satu dari kami memasuki toilet umum yang disediakan di terminal bus. Setelah cuci muka, setoran rutin tiap pagi, dan gosok gigi serta berwudhu, satu per satu dari kami keluar dari toilet umum dan menunggu di kursi-kursi yang berada di area parkir bus. Suhu saat itu sekitar 10 derajat celcius, tubuh yang kedinginan diiringi mata yang masih ingin terpejam, menemani kami dalam penantian waktu operasional bus yang paling awal yang akan menghantarkan kami ke arah centroo (pusat kota) dimana penginapan AirBnB yang sudah kami booking berada. 

Kota
/ Sewaktu pukul 07.00, matahari pun masih enggan muncul di langit kota Lisbon, kami keluar dari terminal bus dan disambut dengan stasiun kereta serta metro (kereta bawah tanah). Setelah melewati stasiun tersebut, kami menemukan sebuah halte bus yang kami harap dapat menghantarkan kami menuju penginapan. "Mas Gerald, arah akhir busnya kemana?", tanya saya. "Ini, rute 758 dari halte ini ke ini", Ia menjawab sambil menunjukkan rute yang harus ditempuh di google maps. "Mas Ger, kayaknya harusnya kita ambil arah yang berlawanan, kita harus cari halte yang seberang, kayaknya di sana", kata saya sambil menunjuk arah halte di seberang. Lantas kami langsung beranjak pergi ke halte seberang yang letaknya sekitar 500 meter dari halte tempat awal kami berada. Ada 3 halte yang berada di sisi yang sama. Kami menuju ke salah satu halte dengan rute bus 758, namun kecurigaan sudah membayangi kami sedari awal karena hanya halte itu yang lampunya mati. Kecurigaan itu terjawab setelah beberapa saat bus 758 dengan tujuan dan arah yang kami harapkan berhenti di salah satu halte di sisi yang sama namun terletak agak jauh dari halte dimana kami berada. Ketika bus 758 tersebut berhenti di salah satu lampu lalu lintas di dekat halte dimana kami berada, saya pun secara refleks mencoba memberi tanda kepada sopirnya dengan melambaikan tangan, maklum kalau di Indonesia, bus bisa berhenti dan menaik-turunkan penumpang senyamannya, apalagi saat itu masih pagi sekali. Bus tersebut tidak meladeni lambaian tangan saya dan pergi meninggalkan saya ketika lampu berubah menjadi hijau. Akhirnya kami pun melangkah menuju halte dimana bus 758 tadi berhenti dan melihat bahwa memang ini halte untuk rute 758. "Loh gimana ini kok tulisannya sama kayak di halte tadi?", komplain saya menyalahkan pemerintah kota Lisbon yang bikin halte banyak sekali di sisi yang sama. Sangat membingungkan bagi orang yang baru saja tiba di kota tersebut.

/ Langit mulai menunjukkan cerahnya ketika para pelancong ini tiba di halte tujuan, halte yang berbeda bentuknya dengan halte tempat dimana kami naik tadi. Halte ini tidak punya kanopi dan tempat duduk untuk menunggu bus, hanya sebuah tiang kecil untuk menunjukkan nomor rute bus dan dibawahnya terdapat map kecil untuk menunjukkan rute bus. Ketika berjalan  menuju ke tempat penginapan melalui trotar baik yang disusun dengan material batu, kami menemukan sebuah taman dimana di ujung-ujugnya, kami daat menyaksikan indahnya kota Lisbon yang berbukit-bukit itu, termasuk kastil di atas bukit dan laut di bagian bawah kota Lisbon, sangat cantik dan semakin cantik kelak di malam hari. Tamannya pun sangat nyaman untuk ditongkrongi, terdapat tampat duduk yang cukup untuk 2 orang menghadap ke pemandangan kota dan kastil, pepohonan, monumen, teropong pemandangan, dan juga lapak-lapak penjual souvenir yang tersusun dengan baik. Taman ini terletak di dekat jalan utama kota Lisbon yang bermaterial bebatuan halus disertai dengan rel-rel trem di tengah-tengahnya. Kota Lisbon juga terkenal dengan trem kunonya yang sampai sekarang masih digunakan sebagai transportasi umum. Walaupun tua, trem kuno ini sangat kuat untuk mengangkut orang-orang di medan kota Lisbon yang naik dan turun, bahkan ada jalanan yang digunakan oleh trem yang miring sekitar 45 derajat. Namun demikian, banyak juga orang yang berjalan kaki di tiap sudut kota Lisbon. Entah itu naik atau turun, orang-orang tersebut seperti tidak terlihat lelah, mungkin karena kecantikan bangunan-bangunan cantik, jalanan yang walkable, prioritas yang diberikan pada pejalan kaki, hingga monumen-monumen cantik yang sayang untuk dilewatkan. Tiap sudut kotanya pun terasa bercampur menjadi satu, entah bangunan tua dengan pusat perbelanjaan modern, monumen tua dengan jejeran restoran-restoran dengan tempat duduk di pinggir jalan, hingga entah bagaimana tidak ada konflik antara trem, bus umum, mobil, pesepeda, hingga pejalan kaki di jalanannya. Semuanya terasa berjalan dalam sebuah sistem ruang dengan dasar saling menghargai, menghormati, dan rasa terjamin atas hak menggunakan jalan.

/ Malam mulai jatuh di kota Lisbon ketika saya yang sedang menemani Dewi mencari toko yang mau untuk membukakan alat detektor kaos. Di saat itu pula ada sebuah toko kaos dengan penjaga toko keturunan Afrika yang sedang berada di belakang kasir dan mau membukakan detektor itu setelah Dewi memberikan struk pembelian kaos itu. Dasar orangnya baik, Dewi membelikan sebuah burger dan soda yang Ia beli dari Burger King untuk mbak-mbak di toko tadi. Mbak-mbaknya sangat kaget ketika Ia menerima itu. "It is not necessary.", mbak-mbak itu berkata. Sesaat setelah itu, kami meninggalkan toko itu dan beranjak menuju toko H&M, tempat dimana Hafi dan Erbi sedang belanja. Sambil mendengar desir-desir suara alat musik akordion jalan bagian atas dan suara lain dari gitar akustik di jalan bagian bawah. Sangat merdu, sangat Eropa, sangat syahdu rasanya sambil menanti 2 lelaki yang sedang asik belanja. Saat pulang menuju penginapan, kami sempatkan untuk singgah sejenak di taman dengan pemandangan kota Lisbon yang kami tongkrongi tadi pagi. Sinar-sinar lampu-lampu kota, bangunan, dan kastil bersatu padu berbinar menciptakan harmoni syahdu nan romantis di malam itu. Ditambah hembusan angin yang sepoi-sepoi namun lembut dan desir-desir suara gitar akustik, dan bintang dan bulan di langit, malam di kota Lisbon hampir sempurna. Akan menjadi sempurna jika ada perempuan dambaan hati di masa depan yang hadir disisi, bersama-sama menikmati keindahan malam di kota Lisbon.

Rasa
/ Sesaat setelah berjalan dari halte, para pelancong itu masuk ke sebuah warung kopi kecil di seberang taman dengan pemandangan kota Lisbon tadi. Kemungkinan, orang-orang Portugal suka sarapan dengan kopi dan roti, sehingga warung itu sangat ramai pada pagi hari seperti saat itu. Setelah mendapat tempat duduk dan menaruh tas carrier, Mas Gerald dan istrinya, Mbak Wenty, mencoba memesan makanan dan minuman kepada bapak-bapak di balik etalase yang dipenuhi dengan roti dan makanan lainnya tersebut. "I want that.", kata Mas Gerald sambil menunjuk secangkir gelas minuman berwarna cokelat muda yang sedang dinikmati oleh seorang bapak-bapak sambil berbincang dengan rekannya. "Obrigado", kata Mbak Wenty saat pesanannya, dengan cepat, disediakan oleh bapak-bapak di belakang etalase tadi. Para pelancong lainpun juga mengikuti apa yang Mas Gerarld dan Mbak Wenty lakukan untuk memesan makanan dan minuman, dengan "jurus tunjuk-menunjuk". Saat itulah kami memakan dan meminum "yang-entah-apa-namanya-yang-penting-perut-terisi". Ternyata minuman cokelat "yang-entah-apa-namanya-yang-penting-perut-terisi" tersebut sangat enak, rasanya seperti kopi susu dicampur sedikit teh tawar, cocok untuk diminum di pagi hari. Selidik punya selidik, ternyata nama dari minuman itu adalah "galao", mungkin cocok juga untuk yang sedang "galau", ahayy. Salah satu di antara roti di etalase tadi ada yang berbentuk mangkok, disuatu saat di keesokan harinya, saya, Dewi, dan Mbak Wenty mencoba membeli kue itu, dan ternyata kuenya enak. Saya baru tahu sekarang, namanya adalah pastel de nata.

Kata
/ "Obrigado!" adalah kata-kata yang sangat umum ditemui di penjuru kota di Protugal. Kata ini berarti "terimakasih". Ada juga kata lain, "Bom dia!" yang artinya selamat pagi, dan "Ola!" yang merupakan versi Portugalnya "halo!" Banyak lagi kata-kata yang masuk ke kuping saya pada saat berkeliling di tiap sudut kota Lisbon dan Porto, Portugal. Namun, suatu ketika muncul juga kata-kata "Marhaban!" "Assalamualaikum!" dan "Syukron". Kata-kata yang muncul dari lidah penjajak souvenir di toko-toko di bawah bangunan maupun lapak-lapak di tengah jalan pedestrian. Banyak orang Bangladesh dan Afrika Utara yang menjadi penjual souvenir. Kadang jika kami melihat ada pelancong yang memakai jilbab, kami akan memberi diskon pada orang tersebut. Ada juga kata lain yang mensimbolkan persahabatan, "Give me Bum!" sambil mengepalkan tangan dan menatapkannya ke kepalan tangan orang lain. Cara itu sangat manjur ketika bertemu dengan orang asli Protugal, maupun para imigran yang tinggal di Portugal, untuk membangun rasa percaya dan persaudaraan.

/ Setelah singgah 1 malam di kota Lisbon, pagi harinya, para pelancong tersebut menuju ke bandara dengan menggunakan metro. Kami akan mencari petualangan selanjutnya di Kota Porto, Portugal.

Sewaktu the Series


/ Di awal membuat blog ini, saya ingin berbagi tentang hal-hal yang dulunya, bagi saya, hanyalah sebuah cerita yang bisa saya nikmati dari gambar, film, cerita orang lain, novel, dan pelajaran geografi, kini menjelma sebagai kenyataan di kehidupan saya. Mulai dari lolos mendaftar universitas di luar negeri, mencapai target skor IELTS hingga menjadi penerima beasiswa dan kuliah di negara lain. Suatu hal yang bahkan tidak terpikirkan bagi saya ketika ditanyai oleh seseorang tentang apa cita-cita atau keinginan saya. Sehingga, sebagai wujud rasa syukur, sedekah, dan pengabdian, saya bagikan hal-hal yang saya lakukan ketika kuliah di Belanda, salah satunya adalah travelling.

/ Bagi saya melakukan sebuah perjalanan menelusuri tempat-tempat baru adalah hal yang sangat penting. Selain sesuai dengan bidang ilmu saya, yakni perencanaan kota, berjelajah dapat membuka wawasan kita tentang suatu tempat dan dari penjelajahan itulah kita dapat mempelajari sesuatu yang baru, yang mungkin tidak pernah dituliskan di dalam buku-buku terbitan.Seperti yang dikatakan oleh Augustine of Hippo, "The world is a book and those who do not travel read only one page". 

/ Untuk berbagi tentang pembelajaran dalam penjelajahan saya selama di Eropa, saya terbitkan sebuah kumpulan cerita travelling saya dalam sebuah series berjudul "Sewaktu". Sesuai dengan judulnya, saya akan bercerita sewaktu saya berada di tempat-tempat yang saya jelajahi. Saya akan rangkum cerita tersebut ke dalam 3 topik besar, yaitu Kota, Rasa, dan Kata. Semoga berkesan dan selamat menikmati. Post pembuka, Sewaktu di Lisbon, Portugal.

Wednesday, November 30, 2016

A Story Among The Garden of Earthly Delights, The Earth, and The Sustainability

Bagian Luar The Garden of Earthly Delights by Hieronymus Bosch, c.1495-1505

// Belajar di Wageningen University membawa saya menyelam kedalam pengetahuan yang berkaitan dengan keberlanjutan (Sustainability). Mendengar kata itu saja kita pasti sudah bisa menebak bahwa hal-hal dalam pengetahuan tersebut berkaitan dengan aspek lingkungan. Sedangkan lingkungan adalah semua hal yang ada di Bumi, tempat dimana kita hidup, tinggal, beraktivitas, dan berkembang biak. Setelah melihat film dokumentasi berjudul "Before the Flood" oleh National Geographic, ditambah lagi dengan cerita yang diperlihatkan dalam film "Inferno" oleh Columbia Pictures, saya sebagai mahasiswa yang sedang belajar tentang hal-hal yang berbau lingkungan, tergelitik untuk mengakit-kaitkan hal-hal yang saya temukan di dalam film-film tersebut dengan ilmu tentang lingkungan yang sejauh ini sudah saya dapatkan di Belanda.

/ Hal pertama yang tiba-tiba membuat saya tergelitik adalah ketika melihat bagian dalam lukisan karya Hieronymus Bosch yang berjudul The Garden of Earthly Delights yang ditayangkan di awal film dokumentasi tersebut. Lukisan ini sebenarnya berbentuk seperti buku, dimana kedua sudut bagian dalamnya dapat dilipat dan akan terlihat bagian luar dari lukisan tersebut, yakni sebuah lukisan bumi pada masa baru-baru saja dibentuk (seperti yang terlihat pada gambar di atas). Bagian luar dari lukisan ini sebenarnya adalah tahapan pertama dari kehidupan yang ada di bumi, dimana pada masa itu hanya ada tumbuh-tumbuhan dan mikroorganisme. Bisa dibilang bumi masih amat hijau, senggang, sejuk, dan sistemnya tidak terganggu oleh apapun, semua berjalan dengan apa adanya dalam sistem alam yang sangat ideal.


Bagian Dalam The Garden of Earthly Delights by Hieronymus Bosch, c.1495-1505
/ Tahapan kedua (panel barat), ketiga (panel tengah), dan keempat (panel timur) dari lukisan ini berada di bagian dalam lukisan. Setelah adanya bumi, mulailah ada hewan-hewan vertebrata seperti yang masih bisa kita saksikan hari ini (gajah, jerapah, burung, ikan, dan lain sebagainya) dan juga manusia pertama yang ada di bumi, yakni adam dan hawa. Di masa itu, hewan, tumbuhan, dan manusia terasa hidup harmonis berdampingan. Tumbuhan tumbuh di habitatnya masing-masing dengan apa adanya, hewan bebas kemanapun mereka mau untuk berkembang biak sesuai dengan habitatnya, serta tidak terlalu banyak manusia, hanya ada adam dan hawa. Kemudian pada tahapan ketiga, terlihat semakin banyak manusia yang ada di bumi, dimana manusia-manusia tersebut terlihat menggunakan segala sumber daya alam yang ada untuk kepentingannya. Hal itu terlihat dari lukisan orang-orang yang sedang menunggangi hewan, memetik strawberry, menekan bunga, membawa kerang, disana juga terlihat bangunan-bangunan tinggi. Lucunya, mereka terlihat sangat berbahagia saat melakukan itu semua. Mereka lupa bahwa, secara tidak langsung, mereka sedang menggunakan sumber daya alam yang ada di bumi untuk kesenangannya. Untuk membangun papan-papannya, merajut sandang-sandangnya, dan tentu saja memproduksi pangan-pangannya. Semakin banyak manusia yang ada di bumi, semakin banyak pula sumber daya alam yang diberdayakan oleh manusia untuk memenuhi kepentingannya. Hingga mereka tidak sadar apa yang akan terjadi pada tahapan selanjutnya dari kehidupan di bumi. Dan sayangnya, tahapan ketiga ini lah yang sedang kita alami. Saat ini (saat tulisan ini dibuat) populasi manusia di bumi adalah sekitar 7 miliar orang (Worldometers.info, 2016) dan diprediksi akan menjadi 9.7 miliar orang pada tahun 2050 (United Nations, 2015). Bayangkan bumi adalah sebuah gelas yang memiliki ambang batas volume, apa yang terjadi ketika kita menuangkan air melebihi ambang batas volume gelas? Air itu akan meluap dan gelas tidak akan bisa mewadahinya lagi. Begitulah bayangan yang akan terjadi di bumi pada tahapan keempat. Pada tahapan keempat, dilukiskan bahwa sumber daya alam yang ada di bumi semakin sedikit dan pada akhirnya lenyap, di saat itulah manusia mulai berebut sumber daya alam untuk kepentingan mereka masing-masing, ada pula yang meregang nyawa karena tidak kebagian sumber daya alam untuk menghidupinya. Perang tidak terelakan untuk merebut sumber daya alam dari satu pihak untuk pihak lainnya dan konflik di tiap kota hingga menimbulkan kerusakan diberbagai kota. Namun di saat-saat itu masih ada orang yang dengan santainya duduk di atas kursi dan melihat semua itu dengan tenang, seakan sesuatu yang buruk tidak sedang terjadi, itulah simbol "penguasa yang korup". Di tahapan keempat, dunia terasa menjadi sebuah neraka bagi manusia. Hal ini jugalah yang ingin disampaikan oleh Dante Alighieri (1265-1321) melalui salah satu bagian puisinya yang berjudul "Inferno" di dalam buku yang berjudul "Divine Comedy" (c.1308-1320).


Inferno by Dante Alighieri, c.1308-1320

/ Inferno berasa dari bahasa Italy yang berarti neraka. Dante melukiskan bahwa terdapat 9 bagian neraka (dari yang paling atas ke paling bawah), yakni Limbo (temapt bagi orang-orang yang terbuang), Lust (nafsu), Gluttony (kerakusan), Greed (keserakahan), Anger (kemarahan), Heresy (kebohongan), Violence (kekerasan), Fraud (penipuan), dan Treachery (pengkhianatan). Dari semua level tersebut, kita sudah dapat mengartikan apa yang sebenarnya Dante ingin sampaikan. Jika kita hubungkan dengan lukisan Bosch, pada tahapan ketiga kehidupan di bumi, sebenarnya sudah terjadi tanda-tanda "neraka dunia" yang akan terjadi pada tahapan keempat. Kita dapat merasakan dan melihat kenyataan bahwa 9 level neraka yang dilukiskan oleh Dante tersebut memang benar-benar ada di sekitar kita, dan itu semua menghantarkan kita menuju ke tahapan keempat dari lukian Bosch, yakni kehancuran kehidupan yang ada di bumi. Sayangnya lagi, kita sudah bisa melihat tanda-tandanya saat ini.

/ Untuk itu, saat ini banyak orang-orang dari developed country yang menyerukan konsep sustainability, yang intinya adalah menggunakan sumber daya alam apapun secara seimbang dan bertanggung jawab, sehingga sumber daya alam yang ada di bumi tidak akan habiss, sehingga masih dapat digunakan untuk anak-cucu kita kelak. Selain itu, sustainability juga berarti mengurangi jejak-jejak negatif manusia di bumi (footprint). Semua usaha dalam mencapai tujuan sustainable terus digalakan. Hal tersebut tidak lain dan tidak bukan hanyalah untuk menghindari (atau malah hanya memperlambat) tahapan keempat dari lukisan Bosch, yakni kerusakan kehidupan di bumi karena berkurangnya sumber daya alam dan rusaknya alam di bumi. Berkaitan dengan ini, awal kerusakan alam di bumi adalah di lingkungan kota atau perkotaan. Hal ini karena kota paling banyak menyerap sumber daya alam dan menyumbang emisi/kotoran bagi lingkungan. Bagaiman tidak? Saat ini terdapat sekitar 54% orang hidup di kota/perkotaan dan akan bertambah menjadi 66% pada tahun 2050 (United Nations, 2014). Bayangkan saja 54% dari populasi dunia saat ini (7 miliar orang) tinggal berjejal di kota dan masing-masing dari mereka mengonsumsi sumber daya yang disediakan di kota (energi listrik, makanan, air bersih, dan sebagainya). Selain itu masing-masing orang meninggalkan jejaknya berupa emisi dan limbah yang diproduksinya (sampah, air limbah, feses, polusi udara, dan sebagainya). Saat ini kita hidup dalam lingkungan kota yang linear, dimana kita masih menggunakan sumber-sumber yang merusak lingkungan untuk kepentingan kita, kemudian meninggalkan jejak limbah begitu saja di bumi. Semua itu akan mempercepat kita untuk menuju ke tahapan keempat dari lukisan Bosch.


Circular Urban Metabolism Scheme (courtesy of Wageningen University and Research)

/ Apa yang saya dapatkan di Wageningen University adalah usaha-usaha untuk mengubah pola-pola Linear menjadi Circular. Ada beberapa konsep yang disini disebut sebagai "Circular Urban Metabolism" (melihat kota sebagai organisme yang melakukan input sumber daya, throughput di dalam tubuh, dan output limbah; namun dengan menggunakan input sumber daya yang renewable dan ramah lingkungan, serta men-utilisasi output limbah dengan metode 3R-reuse, recycle, dan recovery) dan ada juga yang disebut dengan "Circular Economy" (cara dimana segala kegiatan yang berkaitan dengan ekonomi harus berprinsip pada "circular" yang intinya menggunakan renewable resource sebagai input dan menerapkan 3R pada output limbahnya, dan bisa saja ditambah dengan merayakan keberagaman hayati untuk melestarikan sumber daya alam).Cara-cara itulah yang saat ini terus digalakan, terutama di developed country, untuk menghindari kerusakan alam di bumi. Apapun itu, semoga kita tidak akan mencapai pada tahapan keempat lukisan Bosch. Cukup pada tahapan ketiga, dan terus berusaha untuk mengurangi kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh ulah manusia.

“Earth provides enough to satisfy every man's needs, but not every man's greed"
-Mahatma Gandhi

Friday, November 18, 2016

After the Scholarship

Bersama Awardee LPDP PK-70 di Depan KBRI Den Haag
// Jumat, 12 Agustus 2016, saya tiba di salah satu dataran yang dulunya hanya saya ketahui dari pelajaran IPS sewaktu SD, salah satu dataran yang mungkin menjadi impian para pemuda di Indonesia, bahkan dunia, untuk menjejakan kaki. Dataran itu adalah Eropa, benua biru, benua yang menjadi tujuan banyak calon mahasiswa untuk belajar, benua yang menawarkan sejuta kesempatan. Dan saya berada di salah satu titik di benua itu, titik kecil di sebelah barat eropa, negeri van oranje, Belanda. Senang rasanya setelah semua perjuangan terbayar sudah. Perjuangan untuk mengejar skor IELTS minimal 6.5 hingga dibela-belain untuk ambil IELTS preparation di CILACS UII dan simulasi IELTS di kampung inggris Pare, Kediri, perjuangan apply universitas (bikin motivational letter bahasa inggris, minta surat rekomendasi dari dosen, searching informasi sana sini), perjuangan apply beasiswa (mempersiapkan semua dokumen pendukung, tes seleksi dengan tahapan ini itu), hingga akhirnya tiba saatnya perjuangan di dalam beasiswa itu sendiri dan perjuangan atas kewajiban sebagai mahasiswa master di universitas luar negeri.

/ Dengan menggunakan beasiswa LPDP, saya berangkat ke Wageningen University, Belanda dengan harapan bisa mendapatkan wawasan dan pengalaman baru. Bagi saya ini adalah sebuah petualangan yang berada dalam chapter sekian di cerita kehidupan saya. Dan seperti namanya, dalam sebuah petualangan kita tidak akan pernah tau apa yang akan kita jumpai dan hadapi di depan kita, yang perlu kita ketahui hanyalah ada sesuatu di ujung sana yang worth it kalo kita kejar. Petualangan inilah yang sedang saya lalui disini, di Wageningen University, Belanda. Dulu saat lagi ngejar skor IELTS, ngejar universitas dan beasiswa, hal yang ada di benak saya adalah saya ingin menggapai beasiswa itu, saya harus berkompetisi dengan ribuan orang yang memiliki pikiran yang sama dengan saya, untuk mendapatkan beasiswa dan melanjutkan jenjang pendidikan ke jenjang master di luar negeri. Kemudian ketika beasiswa itu sudah diraih, rasa senang bukan main menggelegar di seluruh tubuh, rasa syukur juga tak kalah besarnya, hingga sedikit rasa besar kepala pun menyelimuti pikiran. Bagaimana tidak, bayangkan saja dengan memperoleh beasiswa untuk kuliah di luar negeri sudah cukup untuk mengubah arah nasib masa depan seseorang, sudah cukup pula untuk membanggakan kedua orang tua dan sanak saudara kita. Hingga terkadang membayangkan sendunya perpisahan antara kita dengan orang tua, saudara, dan orang terdekat kita saat kita akan masuk pintu keberangkatan di bandara Soekarno-Hatta Terminal 2. Percayalah semua itu telah saya lalui, dan saya harus berterimakasih kepada LPDP dan negara Indonesia, saya berhutang sesuatu kepada negara Republik Indonesia, dan kelak saya harus balas hutang itu.

/ Setelah euphoria lolos beasiswa, PK (Persiapan Keberangkatan) LPDP, packing ini itu, drama perpisahan di bandara, menjejakan kaki pertama kali di Belanda dan benua Eropa, merasakan udara dan langit Belanda, takjub pada sarana transportasi lokal, foto-foto di sekitar Wageningen University dan kota Wageningen, hingga orientasi mahasiswa, tiba saatnya melaksanakan kewajiban sebagai mahasiswa master, kewajiban kepada Wageningen University, beasiswa, Indonesia, dan diri sendiri. Di masa-masa inilah euphoria itu sedikit demi sedikit luntur. Saat-saat dimana kita harus beradaptasi dengan sistem pendidikan di Belanda, besarnya perbedaan pola pikir orang-orang dari berbagai negara,berbahasa dan menyerap bahasa inggris dalam pembelajaran dan kehidupan sehari-hari, mengerjakan paper yang harus benar-benar ilmiah, hingga beradaptasi dengan cuaca yang dinginnya keterlaluan belum lagi ditambah hujan, kabut, dan angin kencang, belum lagi apabila meriang dan flu menyerang hingga kemauan untuk belajar yang seakan-akan surut karena kondisi adaptasi yang dialami masing-masing. Di saat-saat inilah kita diuji atas semua yang kita sampaikan baik tertulis maupun lisan disaat mendaftar universitas maupun beasiswa. Disinilah ujian logika dan keteguhan hati dipersoalkan. Dan disinilah saya menyadari bahwa mendaftar beasiswa dan melanjutkan studi ke luar negeri bukan hanya sekadar retorika, semua yang saya lalui saat ini adalah sebuah perjuangan bagi diri sendiri dan pengabdian bagi bangsa dan negara, dimana paling tidak ada satu orang di sana yang mempertaruhkan baik buruknya masa depan Indonesia di tangan saya.

/ Melalui cerita ini, sebenarnya saya ingin menyampaikan pesan untuk para scholarship hunter yang ingin melanjutkan studinya ke luar negeri (apapun itu beasiswanya). Bahwasanya kelak ketika Anda menerima beasiswa, itu bukan hanya sebuah kebanggaan tetapi juga pengabdian, bukan sebuah retorika tetapi hidup matinya bangsa, bukan untuk meninggikan harga diri tetapi lebih pada menunaikan janji, dan bukan juga untuk disombongkan melainkan menjadi wadah perjuangan. Kelak ketika kita sudah berada di luar negeri, kita baru sadar bahwa Indonesia terlalu cantik untuk dibiarkan, terlalu hommy untuk ditinggalkan, dan terlalu berharga untuk dilupakan. Disinilah kita baru sadar bahwa, sebagai pemuda yang mendapatkan ilmu dan pengalaman di negara maju, kita memiliki kewajiban untuk membangun bangsa dan negara Indonesia. Kita baru sadar bahwa kelak di masa depan, kita akan berada di pucuk-pucuk kepemimpinan yang akan membawa arah Indonesia. Di saat itu jugalah ilmu dan pengalaman kita saat belajar di negeri "orang" diuji, apakah kita benar-benar menyerap ilmu-ilmu yang diajarkan di universitas? apakah kita benar-benar peka terhadap hal-hal unik di negara "orang" yang memberikan kita pengalaman menarik dan menjadi inspirasi untuk diimplementasikan di Indonesia? Maka dari itu, sebelum apply beasiswa untuk melanjutkan studi ke luar negeri, cobalah untuk sejenak berefleksi atas niat Anda. Cobalah untuk bertanya kepada diri sendiri, apakah saya layak menerima beasiswa ini? apakah saya bisa melalui semua nantinya melalui beasiswa ini? akan saya abdikan dalam bentuk apa ilmu dan pengalaman yang saya dapatkan setelah lulus dari studi nantinya? dan yang paling penting adalah apakah dengan saya melanjutkan studi ke luar negeri dengan beasiswa, Indonesia akan semakin baik nantinya? Karena kuliah ke luar negeri dengan beasiswa bukan tentang prestis tetapi lebih kepada berjuang menghimpun ilmu dan pengalaman untuk kembali dan membangun bangsa dan negara Indonesia. Selamat berjuang!
- As time flows, it will has answer for all.

Tuesday, August 30, 2016

FIRST IMPRESSION - CUACA


// 16 derajat celcius adalah suhu udara Kota Wageningen di waktu dhuha, dan hari ini (30/08/2016) suhu tertinggi adalah 22 derajat celcius. Seperti yang kita ketahui, layaknya kota-kota di Eropa, Kota Wageningen memiliki 4 musim dengan urutan SemPaGuDi (Semi-Panas-Gugur-Dingin). Musim semi dimulai pada sekitar bulan Maret-Juni, dimana kata orang, musim ini merupakan waktu terbaik untuk mengunjungi negara-negara Eropa, karena berbagai macam tumbuhan sedang berkembang dan cuacanya sangat bersahabat. Sementara saya tiba disini pada akhir musim panas yang biasanya berlangsung dari sekitar Juni-Agustus. Sekitar 2 minggu saya beradaptasi dengan hawa di Benua ini. 2 minggu itu juga, kulit tubuh mulai kering dan bibir mulai pecah-pecah. Suhu tertinggi yang pernah saya rasakan di Kota Wageningen adalah 30 derajat celcius sekitar seminggu yang lalu. Dengan suhu tersebut, hawa di Kota ini terasa sangat nyaman, namun sorotan sinar matahari membuat kenyamanan itu sirna, haha (Di Belanda, jarak matahari dengan bumi lebih dekat daripada negara-negara di garis khatulistiwa. Namun anehnya, sering beberapa kali hujan turun, baik hujan monyet (hujan rintik-rintik waktu awan mendung belum menutupi sinar matahari), hujan gerimis ringan-sedang, hingga hujan lebat. Namun hujan tersebut tidak berlangsung lama, saya merasakan paling lama sekitar 40 menit hujan berlangsung, lalu matahari kembali menyorot dataran ini, lalu hujan lagi, panas lagi, begitu seterusnya. Terkadang angin juga berhembus sepoi-sepoi dengan hawa segar dinginnya. Namun dengen semua keadaan itu, tatkala cuaca musim panas sedang bagus-bagusnya, banyak bule yang dengan asyiknya berpiknik di taman-taman kota, berjemur di pinggir Sungai Rijn, hingga berkeliling kota dengan telanjang dada. Padahal saya saja yang asalnya dari negara khatulistiwa, Indonesia, merasa kepanasan ketika suhu udara sedang tinggi-tinggi nya, apalagi ditambah sorotan sinar matahari yang sangat menyengat, haha.

Langit Musim Panas
Kedai Es Krim di Musim Panas Laris Manis, Semanis yang Jualan
Santai Kayak di Sungai
/ Kini tiba akhir bulan agustus, beberapa daun telah berguguran sedikit demi sedikit dari pepohonan di depan tiap rumah. Kata orang-orang sini, hati-hati pada saat musim gugur, karena daun-daun yang berguguran itu membuat jalanan menjadi licin, apalagi sebagian jalanan di Kota Wageningen dibuat dengan bata-bata yang disusun sedemikian rupa. Musim gugur yang biasa terjadi bulan September-sekitar awal Desember ini membawa hawa yang masih sedikit sama dengan akhir-akhir musim panas, dengan dingin yang belum terlalu ekstrim. Bagi orang-orang penikmat batang pohon, pasti akan senang dengan musim yang satu ini. Di musim ini, saya kira sangat bagus kalo hunting foto dengan angle pohon di pinggir jalan beserta daun-daun yang berguguran, apalagi di ujung senja, haseeekkk. Oiya, ngomong-ngomong tentang senja, senja di Belanda super sekali! Pemandangannya cantik sekali, cocok untuk couple-couple yang mau pre wedding gitu, hahayy. Namun semua itu akan sirna ketika memasuki Desember-Maret, masuk Musim Dingin. Sama dengan namanya, musim ini hawanya dingin, dengan suhu yang ekstrim (katanya sih, belum pernah ngalami juga, haha). Namun pada musim dingin, orang-orang bisa bermain Ice Skating di alam (bukan kayak di mal-mal Jakarta itu), rawa dan danau membeku dan menjadi wahana gratis yang diberikan oleh alam kepada penduduk disini.
Daun-Daun mulai Berguguran di Belakang Home-Car
Langit Senja di Wageningen
/ Sebagai penutup tentang cuaca, ada beberapa catatan "nggumon" (bahasa Indonesianya heran) dari saya ketika mengamati maupun berimajinasi tentang orang-orang bule. (1) Kulit Badak. Ya, penduduk asli Kota ini memiliki kulit badak (bukan secara denotasi tapi secara konotasi). Saya heran, kulit mereka bisa berada pada hawa apa saja. Waktu musim panas, sinar matahari terik sekali, hawanya sedikit lembab, anginnya sepoi-sepoi, tapi mereka masih bisa berjemur, bertelanjang dada, dan memakai pakaian-pakaian tipis. Padahal kalo di Indonesia, mau hawanya sampe 38 derajat celcius ato hanya 21 derajat celcius, orang Indonesia pasti akan memakai jaket pada saat di luar ruangan. Kemudian masuk musim dingin yang ekstrim, kulit mereka juga masih aman-aman aja, haha. (2) Daya tahan tubuh badak (sekali lagi, hanya konotasi). Penduduk Kota Wageningen, memiliki daya tahan tubuh yang tinggi. Itu terbukti dari pengalaman saya ketika melihat mereka hanya memaki celana pendek, pakaian tipis, namun hujan-hujanan lalu tetap beraktivitas seperti biasa dengan pakaian yang sama ketika hujan sudah reda dan matahari memancarkan sinarnya. Dan itu terjadi sewaktu-waktu, Luar Biasa! Begitulah laporan cuaca dari Kota Wageningen, sekian.

Bersambung...(Karakter Penduduk Kota Wagenignen)

Wednesday, August 24, 2016

August 2016: First Impression - Fisik Kota

Groeten uit Nederland!!!


Stasiun Ede-Wageningen (Karena Kota Wageingen ngga punya Stasiun)
// Sudah hampir 3 minggu berada di tanah Belanda, tepatnya di Kota Wageningen (Mmmm..sebenernya bukan kota sih, fasilitasnya kota tapi suasananya desa). Kata orang, jika kita datang di suatu tempat yang baru, kita akan menilai sesuatu pada saat pertama kali kita menginjakkan kaki disana, ato bahasa kerennya First Impression. First Impression bisa saja berupa penilaian subjektif maupun objektif; atau bisa saja berupa judgement positif dan negatif; ato khuznudzon maupun suudzon. Kini saya bisa merangkum paling tidak 2 first impression yang saya alami selama hampir 3 minggu disini. Biar menarik, saya bagi menjadi First Impression 'Luaran' dan 'Daleman' haha.

Pemandangan Senja Kota Wageningen
 / Don't judge the book by its cover! Itulah yang kebanyakan orang bilang ketika kita sedang menilai sesuatu. Namun sekarang saya harus menilai Wageningen dari 'cover' nya ato 'Luaran' nya. Yang akan saya bahas disini adalah fisik kota, cuaca, dan karakter penduduk lokal (non pelajar/mahasiswa). Karena saya seorang perencana kota, maka hal pertama kali yang selalu saya lihat adalah tata kota di Wageningen City ini. Saya bisa bilang bahwa kota ini memiliki tata kota yang sangat baik. Bila kita memakai teori transect, maka Kota Wageningen bisa dibagi menjadi 4 potongan, yakni (1) Centrum, (2) Neighborhood Area, (3) Education Area, (4) Sub-Urban Area, (5) Rural Area. Dan bila dilanjutkan dan dihubungkan dengan kota sebelahnya (Benekkom dan Arnhem) akan ditemukan potongan sebaliknya, dari Rural Area menuju Centrum. Centrum merupakan pusat kota atau CBD, disana kita bisa mendapati berbagai macam fungsi perdagangan, jasa, kantor, hingga pusat-pusat fasilitas sosial. 


Koridor Perdagangan di Centrum
/ Di centrum, hampir seluruh fungsi bangunan dijadikan sebagai mixed use atau campuran, seperti Ruko (lantai 1 toko dan lantai 2 ke atas rumah). Di sana juga terdapat satu koridor yang lebarnya selebar Jalan besar Malioboro saja, dan setiap orang harus jalan kaki ketika melwati koridor itu. Di tiap sisinya terdapat berbagai macam toko maupun cafe yang menjajakan panganan dan minuman. Di sini orang-orang bisa duduk-duduk santai di pinggir jalan sambil menikmati segelas bier, wine maupun kopi (ketika matahari memancarkan sinarnya). Fasade dari bangunan di Wageningen keseluruhan hampir sama bentuknya dan bata merah sebagai dindingnya dibiarkan kelihatan begitu saja (jadi ngga perlu ngeluarin duit buat ngecat dinding rumah, haha).



Bus Station Wageningen City di Centrum
Nongkrong Santai di Jalan
Suasana di Pusat Kota
Pasar Terbuka

Fasade Rumah di Wageningen
/ Jika kita meninggalkan Centrum, maka kita akan masuk ke neighborhood area. Di sepanjang perjalanan menuju neighborhood area, pengguna jalan dimanjakan dengan pembagian fungsi jalan yang ciamik abis! Ada jalan khusus kendaraan bermotor (mobil dan sepeda motor), jalan khusus sepeda dan sepeda elektrik/scooter, dan jalan khusus pejalan kaki. Dan hebatnya lagi, tidak akan ditemukan satupun PKL (Pedagang Kaki Lima) di sepanjang jalan. Cuma 1 hal yang kurang adalah tidak adanya aksesibilitas bagi tuna netra (yang biasanya berwarna kuning-kuning terus ada tonjolan kecil-kecilnya itu). Oke, memasuki neighborhood area, kita mungkin akan sedikit bingung, karena bangunan rumah-rumah Kota Wageningen sangat mirip-mirip antar satu sama lainnya, sehingga kita harus tau benar lokai suatu rumah di jalan apa dan nomor berapa. Syukur disini nama jalan dan penomoran rumah bahkan blok kompleks diatur dengan sangat baik dan berurutan, sehingga tidak akan salah ngetok pintu kalo berkunjung ke salah satu rumah, haha. Selain rumah horizontal, di Kota Wageningen kita akan menemukan rumah vertikal, seperti condominium, flat, apartemen, dan lain sebagainya. Adapula student housing yang biasanya berupa apartmen maupun rumah vertikal, sebut saja Harweeg, Marijkweeg, Asterpaark, dan lainnya (yang berada 10-15 menit bersepeda dari Wageningen University) maupun Dijkgraaf, Bornsesteeg, Hoevestein, dan Asserpark (yang berada hanya 2-5 menit bersepeda dari Wageningen University). Di dalam neighborhood area pasti terdapat taman bermain, Ruang Terbuka Hijau (RTH), open space, hingga parkir mobil dan sepeda. Secara umum, kondisi perumahan dan fasilitas yang ada di Kota Wageningen sangat lengkap dan baik. Kalo bagi saya, ini sangat memenuhi kaidah-kaidah dari bukunya Urban Design Reclaimed oleh Emily Talen.



Taman di tengah-tengah lingkungan permukiman
Taman Bermain di tengah lingkungan Perumahan Vertikal
Fasade Rumah Vertikal
Suasana Lingkungan Student Housing: Earth House
Lingungkungan Student Housing: Harweeg

Signase Wageningen University
/ Setelah perjalanan yang cukup lumayan (sekitar 5-15 menit) melintasi neighborhood area, kita akan sampai pada education area, yakni areanya Wageningen University. Di sini kita akan banyak menemukan bangunan-bangunan 'aneh' yang tidak sama dengan fasade bangunan di Centrum maupun Neighborhood Area. Bagi saya, area ini cukup menyenangkan karena kita dimanjakan dengan keseimbangan antara built environment dengan natural environment. Rasanya antara bangunan dengan alam bersatu padu mewujudkan area yang menyenangkan untuk hidup. Jarak antar bangunan diatur dengan rapih dan di jarak-jarak itulah terdapat bentangan hijau rerumputan, taman-taman, public space, pekarangan besar, bahkan sungai, rawa, dan danau. Oiya di seluruh kota Wageningen terdapat banyak sekali pepohonan, termasuk juga di education area ini. Para mahasiswa bisa dengan santai belajar, ngobrol, ngebir, hingga nongkrong-nongkrong di taman-taman dan open space ini sambil menikmati sinar matahari yang sangat jarang dijumpai di negara ini. Overall, this is a perfect composition of education area which blend with nature.

Salah satu Kompleks Wageningen University (Bangunan Utama Wageningen University)
Kompleks Bangunan 'Atlas" Wageningen University
Pesta Kebun di area Wageningen University

Rumah Produksi Perkebunan
/ Jika kita mencoba meninggalkan education area, kita akan masuk ke Sub-Urban Area, dimana terdapat beberapa neighborhood area dan fasilitas sosial juga, namun lokasinya jauh dari Centrum. Setelah memasuki Sub-Urban Area, kita akan disuguhi pemandangan sawah-sawah, kebun-kebun, hingga hutan-hutan dan di saat itulah kita akan sadar bahwa kita memasuki Rural Area. Disini area perdesaannya ngga kayak di Indonesia, dimana banyak rumah-rumah gaya perdesaan, simbah-simbah naik sepeda onthel habis ngarit atau dari sawah. Rural area disini murni berupa sawah, kebun, ataupun hutan. Bila ada bangunan disana, pasti bangunan itu berfungsi untuk produksi sawah ataupun kebun. Kadang juga ada Windmill yang terkenal itu maupun Kincir Angin untuk pembangkit listrik tenaga angin.
Suasana Rural Area Kota Wageningen
Area Peternakan Domba
Kondisi Pembagian Fungsi Jalan
beserta Cekungan menuju Drainase
Pencet dulu sebelum nyebrang
/ Secara keseluruhan, tata kota di Wageningen ini sangat ciamik! Saya pikir, semua dipikirkan secara matang oleh Pemerintah Kotanya. Sebagai info aja, Walikota Wageningen saat ini merupakan lulusan Master Spatial Planning Wageningen University lho, yang saat ini saya akan jalani studinya, hehe. Oiya, ada beberapa hal yang saya kagum pada perancangan kotanya. (1) Drainase benar-benar berfungsi sebagaimana mestinya. Mereka membangunnya sesuai dengan prinsip air, yakni mengalir dari atas ke bawah. Tidak hanya sekadar membangun drainase saja, mereka juga memperhatikan tingkat cekungan dari jalan. Sehingga tiap jalan yang disisinya ada drainasenya, jalan itu masti akan agak mencekung gitu untuk mengalirkan air limpasan menuju ke drainase (dan tidak ada sampah sama sekali yang menyumbat tutupan drainasenya). (2) Signase lalu lintas ditata dengan sempurna. Mereka memikirkan setiap pengguna jalan! Terdapat lampu lalu lintas untuk kendaraan bermotor, sepeda, dan pejalan kaki sendiri. Ada simbol-simbol untuk tiap pengguna jalan. Bahkan ada simbol yang terdapat di persimpangan jalan (mereka membuatnya dengan  pengecatnya di atas jalan) berupa segitiga-segitiga, dimana jika sudut lancip segitiga itu mengarah kepada kita, maka kita harus berhenti dan memprioritaskan pengguna jalan yang akan lewat di persimpangan itu. Namun jika sisi segitiganya yang mengarah kepada kita, maka kitalah yang diprioritaskan untuk lewat terlebih dahulu. Simple but useful and safe! (3) Sampah yang dipisah-pisah dan memang begitu pelaksanannya. (4) Material jalan yang berbeda-beda. Material dan warna jalan untuk kendaraan bermotor akan berbeda dengan material dan warna jalan untuk jalur sepeda dan pejalan kaki. Material untuk pejalan kaki biasanya berupa paving kotak-kotak berwarna abu-abu, jalur sepeda materialnya paving blok kotak-kotak dengan warna merah, dan jalur kendaraan bermotor materialnya berupa aspal kasar berwarna hitam keabu-abuan. Namun di Centrum, kita akan mendapati material jalannya berupa batu bata merah yang disusun dengan baik, hingga kuat untuk dilewati oleh truk-truk container besar yang biasanya lewat untuk logistik barang di toko tertentu. Semua tertata dengan baik, dan itu adalah sesatu yang perlu dicontoh untuk tata kota Indonesia!


Pembagian Fungsi Jalan
Signase Jalan berupa tiang-tiang maupun lambang-lambang di atas jalan



bersambung..