/ Roman wajah para pelancong ini sudah tidak seperti awal di saat air hangat dari pancuran shower membasahi tubuh kami. Berbekal 50 sen, satu per satu dari kami memasuki toilet umum yang disediakan di terminal bus. Setelah cuci muka, setoran rutin tiap pagi, dan gosok gigi serta berwudhu, satu per satu dari kami keluar dari toilet umum dan menunggu di kursi-kursi yang berada di area parkir bus. Suhu saat itu sekitar 10 derajat celcius, tubuh yang kedinginan diiringi mata yang masih ingin terpejam, menemani kami dalam penantian waktu operasional bus yang paling awal yang akan menghantarkan kami ke arah centroo (pusat kota) dimana penginapan AirBnB yang sudah kami booking berada.
Kota
/ Sewaktu pukul 07.00, matahari pun masih enggan muncul di langit kota Lisbon, kami keluar dari terminal bus dan disambut dengan stasiun kereta serta metro (kereta bawah tanah). Setelah melewati stasiun tersebut, kami menemukan sebuah halte bus yang kami harap dapat menghantarkan kami menuju penginapan. "Mas Gerald, arah akhir busnya kemana?", tanya saya. "Ini, rute 758 dari halte ini ke ini", Ia menjawab sambil menunjukkan rute yang harus ditempuh di google maps. "Mas Ger, kayaknya harusnya kita ambil arah yang berlawanan, kita harus cari halte yang seberang, kayaknya di sana", kata saya sambil menunjuk arah halte di seberang. Lantas kami langsung beranjak pergi ke halte seberang yang letaknya sekitar 500 meter dari halte tempat awal kami berada. Ada 3 halte yang berada di sisi yang sama. Kami menuju ke salah satu halte dengan rute bus 758, namun kecurigaan sudah membayangi kami sedari awal karena hanya halte itu yang lampunya mati. Kecurigaan itu terjawab setelah beberapa saat bus 758 dengan tujuan dan arah yang kami harapkan berhenti di salah satu halte di sisi yang sama namun terletak agak jauh dari halte dimana kami berada. Ketika bus 758 tersebut berhenti di salah satu lampu lalu lintas di dekat halte dimana kami berada, saya pun secara refleks mencoba memberi tanda kepada sopirnya dengan melambaikan tangan, maklum kalau di Indonesia, bus bisa berhenti dan menaik-turunkan penumpang senyamannya, apalagi saat itu masih pagi sekali. Bus tersebut tidak meladeni lambaian tangan saya dan pergi meninggalkan saya ketika lampu berubah menjadi hijau. Akhirnya kami pun melangkah menuju halte dimana bus 758 tadi berhenti dan melihat bahwa memang ini halte untuk rute 758. "Loh gimana ini kok tulisannya sama kayak di halte tadi?", komplain saya menyalahkan pemerintah kota Lisbon yang bikin halte banyak sekali di sisi yang sama. Sangat membingungkan bagi orang yang baru saja tiba di kota tersebut.
/ Langit mulai menunjukkan cerahnya ketika para pelancong ini tiba di halte tujuan, halte yang berbeda bentuknya dengan halte tempat dimana kami naik tadi. Halte ini tidak punya kanopi dan tempat duduk untuk menunggu bus, hanya sebuah tiang kecil untuk menunjukkan nomor rute bus dan dibawahnya terdapat map kecil untuk menunjukkan rute bus. Ketika berjalan menuju ke tempat penginapan melalui trotar baik yang disusun dengan material batu, kami menemukan sebuah taman dimana di ujung-ujugnya, kami daat menyaksikan indahnya kota Lisbon yang berbukit-bukit itu, termasuk kastil di atas bukit dan laut di bagian bawah kota Lisbon, sangat cantik dan semakin cantik kelak di malam hari. Tamannya pun sangat nyaman untuk ditongkrongi, terdapat tampat duduk yang cukup untuk 2 orang menghadap ke pemandangan kota dan kastil, pepohonan, monumen, teropong pemandangan, dan juga lapak-lapak penjual souvenir yang tersusun dengan baik. Taman ini terletak di dekat jalan utama kota Lisbon yang bermaterial bebatuan halus disertai dengan rel-rel trem di tengah-tengahnya. Kota Lisbon juga terkenal dengan trem kunonya yang sampai sekarang masih digunakan sebagai transportasi umum. Walaupun tua, trem kuno ini sangat kuat untuk mengangkut orang-orang di medan kota Lisbon yang naik dan turun, bahkan ada jalanan yang digunakan oleh trem yang miring sekitar 45 derajat. Namun demikian, banyak juga orang yang berjalan kaki di tiap sudut kota Lisbon. Entah itu naik atau turun, orang-orang tersebut seperti tidak terlihat lelah, mungkin karena kecantikan bangunan-bangunan cantik, jalanan yang walkable, prioritas yang diberikan pada pejalan kaki, hingga monumen-monumen cantik yang sayang untuk dilewatkan. Tiap sudut kotanya pun terasa bercampur menjadi satu, entah bangunan tua dengan pusat perbelanjaan modern, monumen tua dengan jejeran restoran-restoran dengan tempat duduk di pinggir jalan, hingga entah bagaimana tidak ada konflik antara trem, bus umum, mobil, pesepeda, hingga pejalan kaki di jalanannya. Semuanya terasa berjalan dalam sebuah sistem ruang dengan dasar saling menghargai, menghormati, dan rasa terjamin atas hak menggunakan jalan.
/ Malam mulai jatuh di kota Lisbon ketika saya yang sedang menemani Dewi mencari toko yang mau untuk membukakan alat detektor kaos. Di saat itu pula ada sebuah toko kaos dengan penjaga toko keturunan Afrika yang sedang berada di belakang kasir dan mau membukakan detektor itu setelah Dewi memberikan struk pembelian kaos itu. Dasar orangnya baik, Dewi membelikan sebuah burger dan soda yang Ia beli dari Burger King untuk mbak-mbak di toko tadi. Mbak-mbaknya sangat kaget ketika Ia menerima itu. "It is not necessary.", mbak-mbak itu berkata. Sesaat setelah itu, kami meninggalkan toko itu dan beranjak menuju toko H&M, tempat dimana Hafi dan Erbi sedang belanja. Sambil mendengar desir-desir suara alat musik akordion jalan bagian atas dan suara lain dari gitar akustik di jalan bagian bawah. Sangat merdu, sangat Eropa, sangat syahdu rasanya sambil menanti 2 lelaki yang sedang asik belanja. Saat pulang menuju penginapan, kami sempatkan untuk singgah sejenak di taman dengan pemandangan kota Lisbon yang kami tongkrongi tadi pagi. Sinar-sinar lampu-lampu kota, bangunan, dan kastil bersatu padu berbinar menciptakan harmoni syahdu nan romantis di malam itu. Ditambah hembusan angin yang sepoi-sepoi namun lembut dan desir-desir suara gitar akustik, dan bintang dan bulan di langit, malam di kota Lisbon hampir sempurna. Akan menjadi sempurna jika ada perempuan dambaan hati di masa depan yang hadir disisi, bersama-sama menikmati keindahan malam di kota Lisbon.
Rasa
/ Sesaat setelah berjalan dari halte, para pelancong itu masuk ke sebuah warung kopi kecil di seberang taman dengan pemandangan kota Lisbon tadi. Kemungkinan, orang-orang Portugal suka sarapan dengan kopi dan roti, sehingga warung itu sangat ramai pada pagi hari seperti saat itu. Setelah mendapat tempat duduk dan menaruh tas carrier, Mas Gerald dan istrinya, Mbak Wenty, mencoba memesan makanan dan minuman kepada bapak-bapak di balik etalase yang dipenuhi dengan roti dan makanan lainnya tersebut. "I want that.", kata Mas Gerald sambil menunjuk secangkir gelas minuman berwarna cokelat muda yang sedang dinikmati oleh seorang bapak-bapak sambil berbincang dengan rekannya. "Obrigado", kata Mbak Wenty saat pesanannya, dengan cepat, disediakan oleh bapak-bapak di belakang etalase tadi. Para pelancong lainpun juga mengikuti apa yang Mas Gerarld dan Mbak Wenty lakukan untuk memesan makanan dan minuman, dengan "jurus tunjuk-menunjuk". Saat itulah kami memakan dan meminum "yang-entah-apa-namanya-yang-penting-perut-terisi". Ternyata minuman cokelat "yang-entah-apa-namanya-yang-penting-perut-terisi" tersebut sangat enak, rasanya seperti kopi susu dicampur sedikit teh tawar, cocok untuk diminum di pagi hari. Selidik punya selidik, ternyata nama dari minuman itu adalah "galao", mungkin cocok juga untuk yang sedang "galau", ahayy. Salah satu di antara roti di etalase tadi ada yang berbentuk mangkok, disuatu saat di keesokan harinya, saya, Dewi, dan Mbak Wenty mencoba membeli kue itu, dan ternyata kuenya enak. Saya baru tahu sekarang, namanya adalah pastel de nata.
Kata
/ "Obrigado!" adalah kata-kata yang sangat umum ditemui di penjuru kota di Protugal. Kata ini berarti "terimakasih". Ada juga kata lain, "Bom dia!" yang artinya selamat pagi, dan "Ola!" yang merupakan versi Portugalnya "halo!" Banyak lagi kata-kata yang masuk ke kuping saya pada saat berkeliling di tiap sudut kota Lisbon dan Porto, Portugal. Namun, suatu ketika muncul juga kata-kata "Marhaban!" "Assalamualaikum!" dan "Syukron". Kata-kata yang muncul dari lidah penjajak souvenir di toko-toko di bawah bangunan maupun lapak-lapak di tengah jalan pedestrian. Banyak orang Bangladesh dan Afrika Utara yang menjadi penjual souvenir. Kadang jika kami melihat ada pelancong yang memakai jilbab, kami akan memberi diskon pada orang tersebut. Ada juga kata lain yang mensimbolkan persahabatan, "Give me Bum!" sambil mengepalkan tangan dan menatapkannya ke kepalan tangan orang lain. Cara itu sangat manjur ketika bertemu dengan orang asli Protugal, maupun para imigran yang tinggal di Portugal, untuk membangun rasa percaya dan persaudaraan.
/ Setelah singgah 1 malam di kota Lisbon, pagi harinya, para pelancong tersebut menuju ke bandara dengan menggunakan metro. Kami akan mencari petualangan selanjutnya di Kota Porto, Portugal.
0 comments:
Post a Comment